Nabi Ibrahim AS adalah
nabi keenam. Ia diutus oleh Allah SWT untuk berdakwah di negeri Babylonia. Pada
masa itu, Babylonia dipertintah oleh raja Namrud. Namrud adalah seorang raja
yang kejam. Selama hidupnya, Nabi Ibrahim berpindah-pindah dalam berdakwah.
Mulai dari Babylonia, Palestina, Mesir, dan kembali lagi ke Palestina. Nabi
Ibrahim wafat di Hebron, Palestina.
Terlahir di
Tengah Ancaman
“Dan
bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim.” (QS.
Asy-Syu`araa [26]: 69)
Ibunda Ibrahim
terpaksa mengasingkan diri ke gua saat kelahiran Ibrahim sudah dekat. Sebab,
saat itu tengah terjadi pembunuhan bayi laki-laki oleh tentara Raja Namrud.
Raja Namrud bermimpi mahkotanya dilepas oleh seorang anak kecil. Ia pun menjadi
resah dan menanyakan arti mimpinya kepada para peramal.
“Mimpi baginda itu
merupakan pertanda buruk. Di negeri ini, akan lahir seorang bayi laki-laki yang
istimewa. Kelak jika telah dewasa, ia akan menggulingkan kekuasaan baginda,”
ujar para peramal.
Raja Namrud
terpengaruh. Akhirnya, ia memerintahkan tentaranya untuk membunuh setiap bayi
laki-laki yang lahir. Mereka berpatroli keliling kota dan membunuh setiap bayi
laki-laki yang dijumpainya.
Sementara itu, di
dalam gua, ibunda Ibrahim melahirkan Nabi Ibrahim dengan selamat. Namun,
setelah beberapa bulan di dalam gua, ibunda Ibrahim pulang ke rumahnya tanpa
membawa Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim ditinggalkan di dalam gua. Ibunda Nabi
Ibrahim takut kalau di bawa ke kota, Nabi Ibrahim akan dibunuh oleh tentara
Raja Namrud.
Allah SWT senantiasa
melindungi dan memelihara Ibrahim. Apabila lapar atau haus, Ibrahim menghisap
ibu jarinya. Dari ibu jarinya keluar cairan manis seperti susu. Bertahun-tahun
Ibrahim tin\ggal dalam gua. Ia tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Ibrahim
Mencari Tuhan
“(Ingatlah)
ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserah dirilah!’ Dia menjawab,
‘Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 131)
Saat berusia sekitar
lima tahun, Ibrahim memberanikan diri keluar dari gua. Ia sangat takjub menatap
langit dengan miliaran bintang bertaburan di angkasa. Bulan memancarkan
sinarnya menerangi bumi dalam kegelapan malam.
Allah SWT
menganugerahkan akal yang cerdas dan hati yang bersih kepada Ibrahim. Ia sering
memikirkan tentang alam semesta. Ia bertanya kepada diri sendiri, “Siapakah
pencipta yang telah menciptakan alam semesta ini?”
Ibrahim terus
memikirkannya hingga ia remaja. Ia memikirkan tentang langit yang tegak berdiri
tanpa tiang penyangga. Bumi yang terhampar luas. Malam dan siang yang dating
silih berganti. Hujan yang turun dengan teratur. Semuanya diteliti dan
direnungkan oleh Ibrahim. Akhirnya, Ibrahim sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan
Yang Maha Esalah yang telah menciptakan, mengatur, dan memelihara alam semesta.
Diangkat
Menjadi Nabi
“Dan
orang yang membenci agama Ibrahim hanyalah orang yang memperbodoh dirinya
sendiri. Dan sungguh Kami telah memilihnya (Ibrahim) di dunia ini. Dan
sesungguhnya di akhirat ia termasuk orang-orang saleh.” (QS. Al-Baqarah [2]: 130)
Saat beranjak dewasa,
Ibrahim kembali ke kampung halaman orangtuanya di Fadam Aram. Ia sangat sedih
menyaksikan kondisi masyarakatnya yang menyembah berhala. Ibrahim berpikir,
bodoh sekali mereka itu, menyembah berhala yang mereka buat sendiri. Ibrahim
semakin sedih ketika mengetahui ayahnya, Azar, adalah seorang pembuat berhala.
Hatinya pilu.
Ibrahim semakin sedih
dan galau saat ayahnya memintanya untuk menjualkan berhala-berhala buatannya.
Dengan berat hati, Ibrahim menjualkan berhala-berhala itu. Namun, saat ada yang
membeli berhala-berhala tersebut, Nabi Ibrahim justru mengeluarkan kata-kata
celaan.
“Adakah orang yang
akalnya sehat mau membeli berhala ini untuk disembah?” kata Ibrahim.
Orang-orang pun heran
dengan ulah Ibrahim. Ulah Ibrahim itu didengar juga oleh ayahnya. Terang saja
Azar sangat marah. Ia memarahi Ibrahim habis-habisan. Ibrahim dihadapkan pada
situasi yang sulit. Ia sangat menentang pekerjaan ayahnya. Tapi, ia juga tidak
mau melukai hati ayahnya. Ia sering mengadu kepada Allah SWT.
“Oh Tuhanku, berilah
aku petunjuk. Jika Engkau tidak memberikan petunjuk kepadaku, niscaya aku akan
tersesat seperti orang-orang itu,” rintih Ibrahim dalam doanya. Allah Maha
Mendengar doa hamba-Nya. Allah SWT memberikan petunjuk kepada Ibrahim dan
mengangkatnya menjadi nabi dan rasul. Allah SWT menurunkan wahyu-wahyu-Nya
kepada Ibrahim.
Menjalankan
Tugas Dakwah
“Dia
(Ibrahim) menjawab, ‘Sebenarnya Tuhan kamu adalah Tuhan (pemilik) langit dan
bumi; Dialah yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang yang dapat
bersaksi atas itu.” (QS. Al-Anbiyaa` [21]:
56)
Nabi Ibrahim
menjalankan tugas dakwahnya. Awalnya, ia berdakwah kepada ayahnya, Azar. Ia
menyeru ayahnya agar menyembah Allah SWT. Sayangnya, sang ayah menolak. Azar
sangat marah, bahkan mengusir Ibrahim.
Karena telah diusir
oleh ayahnya, Nabi Ibrahim terpaksa pergi. Namun, ia tetap menghormati, bahkan
mendoakannya. Nabi Ibrahim pergi mengembara ke penjuru kota Babylonia. Ia
berdakwah kepada setiap orang yang ditemuinya.
“Hai penduduk
Babylonia, mengapa kalian menyembah berhala-berhala yang tidak berguna itu?
Berhal-berhala itu tidak mampu mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya.
Tinggalkanlah berhala-berhala sesat itu! Sembahlah Allah, Tuhan Yang Maha Esa,”
terang Nabi Ibrahim.
Namun, penduduk
Babylonia menentang seruan Nabi Ibrahim. Akal dan hati mereka telah tertutup.
Perkataan Nabi Ibrahim tidak menyentuh hatinya. Mereka tetap menyembah
berhala-berhala itu.
Sekian lama berdakwah,
Nabi Ibrahim hanya memperoleh dua orang pengikut. Mereka adalah Sarah dan Luth.
Sarah adalah wanita cantik dan salehah yang kelak menjadi istri Nabi Ibrahim.
Sedangkan, Luth adalah kemenakan Nabi Ibrahim.
Menghancurkan
Berhala
“Maka
dia (Ibrahim) menghancurkan (berhala-berhala itu) berkeping-keping, kecuali
yang terbesar (induknya) agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (QS. Al-Anbiyaa` [21]: 58)
Karena dakwah dengan
cara lisan tidak berhasil,Nabi Ibrahim menempuh jalan lain. Ia ingin
membuktikan kepada kaumnya bahwa berhala-berhala itu tidak mampu berbuat
apa-apa, bahkan untuk menolong dirinya sekalipun. Karenanya, pada saat Raja
Namrud dan seluruh penduduk Babylonia pergi keluar kota untuk merayakan hari
besarnya, Nabi Ibrahim menjalankan aksinya. Saat itu, Kota Babylonia sunyi
senyap. Nabi Ibrahim pergi menuju tempat peribadatan penduduk Babylonia. Di
sana tidak ada penjaga.
Nabi Ibrahim
menghancurkan berhala-berhala itu dengan kapak. Semua berhala hancur lebur.
Hanya satu berhala yang paling besar disisakan. Kemudian, Nabi Ibrahim
mengalungkan kapaknya ke leher berhala paling besar tersebut.
Nabi Ibrahim
Disidang
“Mereka
bertanya, ‘Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan
kami, wahai Ibrahim?’ Dia (Ibrahim) menjawab, ‘Sebenarnya berhala besar itu
yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara.”
(QS. Al-Anbiyaa` [21]:
62_63)
Penduduk Babylonia
kembali dari perayaan hari besarnya. Mereka sangat marah ketika mengetahui
sesembahan mereka hancur berkeping-keping. Mereka dicekam ketakutan akan
mendapat kutukan dari tuhan-tuhan palsu itu. Raja Namrud pun menjadi murka.
Raja Namrud
memerintahkan agar dilakukan penyelidikan. Pelaku penghancuran itu harus
ditangkap hidup atau mati. Akhirnya, mereka menyimpulkan Ibrahimlah pelakunya.
Ibrahimlah satu-satunya orang yang tidak ikut perayaan hari besar.
Kemudian, Nabi Ibrahim
ditangkap dan diadili. Ia disidang di lapangan terbuka. Penduduk Babylonia
telah memadati lapangan. Sidang pun dimulai.
“Apakah kamu yang
menghancurkan berhala-berhala sesembahan kami?” Tanya salah seorang hakim.
“Tanya saja kepada
berhala besar yang menyandang kapak itu. Mungkin dia yang menghancurkan
berhala-berhala lainnya,” jawab Nabi Ibrahim tenang.
Para hakim terkejut
mendengar jawaban Nabi Ibrahim. Mereka menggeleng-gelengkan kepalanya dan
saling berbisik. Mungkin mereka mengira Nabi Ibrahim sudah gila. Padahal,
sesungguhnya merekalah yang gila. Menyembah berhala yang mereka buat sendiri.
“Hai Ibrahim, apakah
kamu sudah gila? Bagaimana mungkin kami menanyakannya kepada berhala itu.
Sedangkan, dia tidak dapat berbicara,” ujar sang hakim. Raut mukanya menunjukan
rasa kesal.
Nabi Ibrahim tersenyum
mendengar kata-kata para hakim. Ia menatap para hakim satu per satu. Kemudian,
beralih kepada penduduk Babylonia yang hadir dalam persidangan itu.
Dengan mantap Nabi
Ibrahim berkata, “Jika kalian sudah mengetahui bahwa berhala itu tidak dapat
berbicara, mendengar, dan melihat, mengapa kalian menyembahnya? Kalau berhala
itu tidak dapat membela dirinya sendiri dari kehancuran, mengapa kalian
memujanya dan memohon perlindungan kepadanya?”
“Alangkah bodohnya
kalian ini! Tidakkah kalian menyadari bahwa perbuatan kalian itu perbuatan yang
sesat? Mengapa kalian tidak menyembah Tuhanku, Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang
telah menciptakan aku, kalian, nenek moyang kalian, dan segala sesuatu yang ada
di alam ini,” kata Nabi Ibrahim kembali.
Kata-kata Nabi Ibrahim
membuat para hakim dan seluruh orang yang hadir saat itu terperangah. Namun,
karena hati mereka telah tertutup, kebenaran yang disampaikan Nabi Ibrahim
tetap tidak diterima. Mereka justru mengejek dan menghina Nabi Ibrahim. Para
hakim memutuskan Nabi Ibrahim bersalah dan harus dihukum. Nabi Ibrahim dihukum
dengan dibakar hidup-hidup.
Dibakar
Hidup-hidup
“Mereka
berkata, ‘Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar
hendak berbuat’. Kami (Allah) berfirman, ‘Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan
penyelamat bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiyaa` [21]:
68_69)
Tentara kerajaan
dibantu rakyat menyiapkan kayu bakar hingga seperti bukit. Kemudian, Nabi
Ibrahim dibawa ke tengah-tengah tumpukan kayu bakar itu dan diikat. Namun, Nabi
Ibrahim tetap tenang. Tidak terlihat sedikit pun rasa khawatir atau takut di
raut wajahnya. Ia yakin Allah SWT pasti melindunginya.
Kemudian, api pun
dinyalakan. Dengan cepat, api melahap kayu bakar kering hingga mengepulkan asap
yang membumbung tinggi ke udara. Api tersebut sangat besar dan panas. Penduduk
Babylonia bersorak merayakan kemenangannya. Mereka berpikir bahwa Nabi Ibrahim
telah hangus menjadi abu.
Namun, apa yang
terjadi? Allah SWT menolong dan melindungi Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman,
“Hai api, menjadi dinginlah kamu dan selamatlah Ibrahim.” Allah Mahakuasa
terhadap segala sesuatu. Api itu pun menjadi dingin. Ia tidak membakar Nabi
Ibrahim. Api hanya membakar tali pengikat lengan Nabi Ibrahim.
Berdakwah ke
Harran
“Ketika
malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia
berkata, ‘Inilah Tuhanku.’ Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, ‘Aku
tidak suka kepada yang terbenam.” (QS. Al-An`aam [6]:
76)
Peristiwa selamatnya
Nabi Ibrahim dari kobaran api membuat penduduk Babylonia terguncang hatinya.
Mereka mulai berpikir akan kebenaran ajaran yang disampaikan Nabi Ibrahim.
Namun, mereka takut kepada Raja Namrud. Nabi Ibrahim merasa tidak ada harapan
lagi berdakwah di Babylonia. Ia memutuskan pergi meninggalkan Babylonia. Ia
mengajak, Sarah dan Luth mengembara.
Sepeninggal Nabi
Ibrahim, negeri Babylonia dilandah wabah penyakit. Allah SWT menurunkan azab
bagi penduduk Babylonia. Berjuta-juta nyamuk menyerang Babylonia. Bukan hanya
orang yang digigitnya, binatang dan tanaman pun tidak luput dari gigitannya.
Itulah azab Allah SWT yang pedih yang ditimpakan kepada orang-orang yang
durhaka.
Nabi Ibrahim
mengembara untuk menjalankan tugas dakwahnya. Sarah dan Luth setia mendampingi.
Sampailah Nabi Ibrahim di suatu kampung bernama Harran. Penduduknya menyembah
bintang, bulan, dan matahari. Nabi Ibrahim menghentikan perjalanannya dan
menetap di kampung itu untuk berdakwah.
Ketika malam tiba,
saat Nabi Ibrahim sedang berkumpul dengan penduduk kampung, ia menyahut,
“Inilah Tuhanku.”
Nabi Ibrahim berkata
begitu dengan maksud menyindir penduduk kampung yang menyembah bintang. Namun,
ketika bintang itu redup dan akhirnya hilang, Nabi Ibrahim kembali berkata,
“Tidak! Itu bukan Tuhanku. Aku tidak suka Tuhan yang meninggalkan aku.”
Ini merupakan
sanggahan Nabi Ibrahim yang pertama. Nabi Ibrahim berharap dengan cara ini
dapat menyadarkan kaumnya dari kesesatan.
Ketika bulan terbit, Nabi
Ibrahim berkata lagi, “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar dan terang sinarnya.”
Namun, ketika bulan
itu tenggelam, Nabi Ibrahim berkata, “Tidak! Itu bukan Tuhanku. Tidak mungkin
Tuhan tenggelam dan hilang. Jika Tuhanku tidak memberikan petunjuk kepadaku niscaya
aku termasuk orang-orang yang sesat.
Perkataan Nabi Ibrahim
itu merupakan sindiran bagi kaum Harran bahwa mereka itu berada dalam
kesesatan. Namun, penduduk kampung itu belum sadar juga. Mereka justru
menganggap Nabi Ibrahim orang yang aneh.
Kemudian, pada siang
hari ketika melihat matahari, Nabi Ibrahim berkata, “Inilah Tuhanku. Sinarnya
lebih terang daripada bintang dan bulan.”
Namun, ketika matahari
terbenam, Nabi Ibrahim berkata, “Tidak! Itu bukan Tuhanku. Wahai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
Penduduk kampung itu
tidak mampu membantah perkataan Nabi Ibrahim. Mereka berkata, “Lantas apakah
yang kamu sembah?”
Nabi Ibrahim menjawab,
“sesungguhnya aku menyembah kepada Allah. Tuhan yang telah menciptakan langit dan
bumi. Aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah.”
Namun, penduduk
kampung itu tetap menolak ajaran Nabi Ibrahim. Hati mereka telah mengeras.
Lebih keras dari batu. Mereka tidak dapat menerima kebenaran. Karena penduduk
kampung menolak dakwahnya, Nabi Ibrahim melanjutkan kembali pengembaraannya. Ia
pergi menuju Palestina dan menetap di sana.
Suatu saat, Palestina
dilanda kekeringan. Nabi Ibrahim memutuskan pindah ke Mesir. Ternyata, Mesir
bukan negeri yang cocok untuk berdakwah. Penduduknya sangat zhalim. Nabi
Ibrahim pindah lagi ke Palestina dan berdakwah sampai akhir hayatnya. Nabi
Ibrahim wafat di Hebron, Palestina.
Hikmah
Kisah
Jika tidak ada
masalah, mohonlah petunjuk kepada Allah SWT, sebagaimana yang dilakukan oleh
Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim berhasil diselamatkan oleh Allah SWT ketika akan dibakar
oleh penduduk dan tentara kerajaan Babylonia. Sebab, ia selalu memohon petunjuk
kepada Allah ketika menghadapi masalah.
Kisah ini diambil dari
buku yang berjudul Kisah Menakjubkan
25 Nabi & Rasul, Semoga cerita ini dapat bermanfaat bagi kalian
semua.
Read more »
0 comments:
Post a Comment