Nabi Ismail AS adalah
nabi kedelapan. Ia adalah putra Nabi Ibrahim dari istrinya yang bernama Hajar.
Suatu saat, Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Ismail sebagai kurban.
Ismail ikhlas melaksanakan perintah itu. Ismail pun lulus ujian Allah SWT.
Kemudian, Ia diangkat menjadi nabi dan rasul. Nabi Ismail berdakwah di Mekah
hingga wafat.
Kelahiran
Ismail
“Maka
Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sabar
(Ismail).” (QS. Ash-Shaafaat
[37]: 101)
Bertahun-tahun, Nabi
Ibrahim dan Sarah tinggal di Palestina. Mereka hidup bahagia dan sejahtera.
Hanya satu hal yang membuat mereka sedih. Mereka belum juga dikaruniai anak.
Padahal, usia Nabi Ibrahim dan Sarah sudah semakin tua.
Nabi Ibrahim sering
berdoa kepada Allah SWT. Ia memohon agar dikaruniai anak untuk meneruskan
perjuangannya dalam menyiarkan agama-Nya.
“Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh,” rintih
Nabi Ibrahim dalam doanya.
Sarah merasa kasihan
melihat suaminya. Akhirnya, Sarah mengusulkan kepada suaminya agar menikahi
Hajar. Nabi Ibrahim pun menikahi Hajar. Dari pernikahannya dengan Hajar, Nabi
Ibrahim dikaruniai seorang anak yang diberi nama Ismail.
Hikmah di
Balik Perintah
“Ya
Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah
mereka rezeki dan buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibraahiim [14]: 37)
Suatu ketika, Allah
SWT mewahyukan kepada Nabi Ibrahim agar membawa Hajar dan Ismail pergi ke suatu
tempat yang jauh dari Palestina. Nabi Ibrahim adalah seorang hamba yang sangat
taat kepada Allah. Jadi, tidak mungkin ia melawan atau membantah perintah
Tuhannya. Ia sangat yakin pasti ada hikmah yang besar di balik perintah
tersebut. Karenanya, Nabi Ibrahim membawa Hajar dan Ismail pergi.
Berminggu-minggu
mereka menempuh perjalanan dan mengarungi padang pasir yang tandus dan gersang.
Saat siang hari, terik matahari membakar kulit. Sedangkan, malam hari angin
sangat dingin menusuk tulang. Mereka terus melakukan perjalanan hingga sampai
di sebuah tempat. Saat itu, unta yang dinaiki Nabi Ibrahim berhenti dan tidak
mau berjalan.
Nabi Ibrahim merasa
inilah tempat yang dimaksudkan untuk meninggalkan Hajar dan Ismail. Tempat itu
adalah sebuah hamparan padang pasir dengan dihiasi bukit dan lembah. Hanya ada
sebatang pohon besar yang dapat dijadikan tempat berteduh. Akhirnya, Nabi
Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail. Tentu saja Hajar mempertanyakan maksud
suaminya.
“Wahai suamiku,
akankah kau meninggalkan kami di tempat seperti ini?” Tanya Hajar.
“Aku hanya menjalankan
perintah Allah, Hajar. Jadi, bertawakallah kepada-Nya. Yakinlah Dia akan
senantiasa melindungi engkau dan Ismail di tempat sunyi ini,” ujar Nabi Ibrahim
menenangkan istrinya.
Hajar adalah istri
yang salehah. Ia rela melepaskan Nabi Ibrahim pergi meninggalkan dirinya dan
Ismail. Hajar sangat yakin pasti ada hikmah di balik ujian ini. Ia yakin Allah
SWT senantiasa menyertainya.
Hari demi hari, Hajar
melalui kehidupannya di tempat sunyi itu bersama anaknya. Suatu hari, Ismail
menangis karena kehausan. Padahal, perbekalan makanan dan minuman telah habis.
Hajar berusaha menyusuinya, tapi air susunya kering. Akhirnya, Hajar berusaha
sekuat tenaga mencari air. Hajar tidak berhenti dan menyerah. Ia terus berusaha
mencari air dengan seluruh kemampuannya.
Saat itu pula, Allah
SWT memberikan pertolongan-Nya. Dari hentakan kaki Ismail, keluarlah air.
Kemudian, Hajar berkata, “Zamzam….zamzam….” (yang artinya berkumpul-berkumpul).
Jadilah sumber mata air yang kini kita kenal dengan mata air Zamzam yang airnya
tidak pernah kering.
Suatu hari, datanglah
sekelompok kafilah (rombongan berkendaraan unta di padang pasir) dagang ke
tempat itu. Kafilah itu berasal dari suku Jurhum. Mereka pun meminta izin
kepada Hajar untuk mengambil air dari mata air Zamzam. Hajar pun
mengizinkannya. Suku Jurhum merasa betah beristirahat di situ. Kemudian, mereka
meminta izin kepada Hajar untuk tinggal menetap di situ.
Suku Jurhum sangat
menghormati Hajar dan Ismail. Mereka menganggap Hajarlah pemilik mata air
Zamzam dan wilayah itu. Terlebih, setelah mereka mengetahui bahwa Hajar adalah
istri Nabi Ibrahim dan Ismail adalah putranya.
Wilayah itu kemudian
menjadi semakin ramai. Banyak orang yang berdatangan dan menetap di situ.
Tempat itu kemudian diberi nama Mekah. Kota Mekah terus berkembang dan semakin
ramai.
Ujian
Mahaberat
“Maka
ketika anak itu sampai (pada usia) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim)
berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi menyembelihmu. Maka
pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia Ismail menjawab, ‘Wahai ayahku,
lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS.
Ash-Shaaffaat [37]: 102)
Belasan tahun, Nabi
Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail. Suatu saat, dirinya mendapat perintah
untuk menemui mereka. Berangkatlah Nabi Ibrahim untuk menjenguk Ismail dan
Hajar.
Selama
berminggu-minggu, ia melewati padang pasir yang gersang. Akhirnya, sampailah di
tempat dahulu ia meninggalkan Ismail dan Hajar. Alangkah terkejutnya ia, tempat
itu kini berubah menjadi sebuah kota yang ramai. Ia teringat saat pertama kali
meninggalkan Hajar dan Ismail. Saat itu, daerah tersebut masih berupa gurun
pasir yang gersang.
Nabi Ibrahim pun bertemu
Hajar dan Ismail. Saat itu, Ismail telah beranjak remaja. Nabi Ibrahim segera
memeluk Ismail erat-erat. Hajar juga sangat rindu kepada suaminya. Mereka
bercengkerama melepas rindu dalam suasana yang hangat.
Suatu malam, Nabi
Ibrahim bermimpi memperoleh perintah dari Allah SWT untuk menyembelih Ismail
sebagai kurban. Ketika terbangun, Nabi Ibrahim termenung memikirkan mimpinya.
Ia merasakan betapa beratnya perintah Allah SWT itu. Setelah belasan tahun
terpisah, kini anak kesayangan itu harus disembelih sebagai kurban. Karena ia
adalah hamba yang taat kepada Tuhannya, ia pun segera melaksanakan perintah
tersebut. Akan tetapi, ia bimbang terhadap Ismail. Akankah ia rela menerimanya?
Kemudian, Nabi Ibrahim mengajak Ismail berdiskusi.
“Wahai anakku, sesungguhnya
aku bermimpi diperintahkan untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?” Tanya
Nabi Ibrahim.
Ismail adalah anak
yang saleh dan sangat sabar. Ia sangat taat kepada Allah SWT dan berbakti
kepada orangtuanya.
“Wahai ayahku,
laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah SWT kepadamu. Insya Allah, engkau
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” jawab Ismail tegas.
Keesokan harinya, Nabi
Ibrahim dan Ismail pergi ke sebuah tempat bernama Mina. Di tempat itulah Nabi
Ibrahim akan menyembelih Ismail sebagai kurban. Tidak terlihat perasaan sedih
dan galau di raut wajah ayah dan anak itu. Keduanya telah mantap melaksanakan
perintah Allah SWT.
Nabi Ibrahim
menyiapkan tempat penyembelihan. Ismail pun dibaringkan di atas sebuah batu
besar. Pisau tajam telah diletakkan di atas leher Ismail. Penyembelihan siap
dilakukan. Nabi Ibrahim pun menekankan pisaunya ke leher Ismail. Anehnya, pisau
itu tidak mampu melukai Ismail. Pada saat itu, datanglah wahyu dari Allah SWT.
Ismail digantikan dengan seekor kambing yang besar dan gemuk. Kambing itulah
yang kemudian disembelih sebagai kurban. Peristiwa ini kemudian diabadikan
menjadi syariat kurban yang dilaksanakan pada hari raya Idul Adha dan hari
Tasyrik (hari yang diharamkan berpuasa dan disunahkan menyembelih kurban pada
hari ke-11, ke-12, dan ke-13 bulan Zulhijah) oleh jemaah haji dan segenap umat
Islam di seluruh dunia.
Membangun
Baitullah
“Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya
berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh Engkaulah Yang
Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]:
127)
Tidak lama setelah
peristiwa kurban. Nabi Ibrahim memperoleh perintah agar membangun Baitullah
(Ka`bah). Ia menyampaikannya kepada Ismail. Ismail dengan senang hati membantu
ayahnya melaksanakan perintah Allah SWT tersebut. Mulailah keduanya membangun
Ka`bah. Ka`bah dibangun tidak jauh dari mata air Zamzam.
Pembangunan Ka`bah
akhirnya selesai. Kemudian, Nabi Ibrahim dan Ismail berdoa, “Ya Tuhan kami,
terimalah amal dari kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu,
dan anak cucu kami juga umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah
kepada kami cara-cara melakukan ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami.
Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”
Ka`bah inilah yang
kemudian menjadi kiblat bagi umat Islam dalam menjalankan shalat. Sekarang,
Ka`bah terletak di tengah-tengah Masjidil Haram di Mekah. Di sinilah setiap
tahun jutaan umat Islam dari segenap penjuru dunia datang untuk menunaikan
ibadah haji.
Ismail
Diangkat Menjadi Nabi
“Dan
ceritakanlah (Muhammad), kisah Ismail di dalam Kitab (Al-Qur`an). Dia
benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam [19]: 54)
Sekian lama, Ismail
mendampingi ayahnya berdakwah. Ia pun diangkat menjadi seorang nabi dan rasul.
Ismail sangat pantas diangkat menjadi nabi karena memiliki akhlak yang mulia.
Ia sangat taat kepada Allah SWT, berbakti kepada orangtuanya, menepati janji,
dan bijaksana.
Nabi Ismail berdakwah
di Mekah. Ia menyeru umat manusia agar menyembah Allah SWT dan bertakwa
kepada-Nya. Nabi Ismail wafat di Mekah. Tempat wafatnya dinamakan Hijr Ismail.
Hikmah
Kisah
Setiap orang beriman
pasti akan diuji oleh Allah SWT untuk membuktikan kebenaran imannya. Karenanya,
bersabarlah ketika kita mendapatkan ujian dari Allah SWT. Allah SWT selalu
bersama orang-orang yang sabar.
Selain itu, kita juga
harus berbakti kepada Allah dan orangtua, seperti yang telah dilakukan Nabi
Ismail. Allah SWT akan memberikan ganjaran setimpal untuk orang yang selalu
berbakti.
Kisah ini diambil dari
buku yang berjudul Kisah Menakjubkan
25 Nabi & Rasul, Semoga cerita ini dapat bermanfaat bagi kalian
semua.
Read more »
1 comments:
Post a Comment